Jawa Barat sebagai propinsi yang terdekat, selain banten, dengan Ibu Kota Jakarta, tentu mengalami beberapa hal yang sangat memengaruhi kehidupan budaya masyarakatnya. Apa lagi kekinian, buadaya jawa Barat yang terkenal dengan wilayah Priyangan barat, timur, Cirebon, dan Banten telah terkontaminasi budaya modernitas dan pergaulannya yang mulai menjauh dari budaya dan adat daerahnya. Begitu pun dalam hal berpakaian, masyarakat propinsi Jawa Barat tercatat mengalami beberapa perubahan besar dalam tata cara berpakaian.
Tulisan ini akan mencoba memaparkan pakaian adat Jawa barat dari aspek sejarah dan filosofinya yang telah hilang. Karena jika kita berbicara pakaian adat yang dikenakan masyarakat Jawa Barat pada hari ini, kita akan terdistorsi dengan perbedaan yang sangat kentara dari berbagai kota dan kabupaten yang terdapat dalam Propinsi Jawa Barat. Hal ini disebabkan oleh peperangan yang terjadi selama kurun waktu pra kolonial hingga dua masa kolonialisme. Terutama Jepang yang sangat keras menerapkan aturannya di Indonesia, dan mengangkut segala macam bahan pangan, dan sandang.Sejalan dengan adanya beberapa nilai yang hilang, maka norma pun berubah. Di antaranya norma tentang cara berpakaian. Di Jawa Barat pada jaman kolonial Jepang, Ikat kepala atau bendo hampir serempak ditinggalkan. Sanggul bagi para mojang telah diganti kepang, dan kain kebaya yang beralih pada gaun yang dianggap lebih praktis. Dengan kenyataan tersebut, bisa kita tarik kesimpulan bahwa titik kulminasi perkembangan busana Jawa Barat terjadi pada waktu akhir pemerintahan hindia Belanda. Buku yang berjudul Tatakrama Oerang Soenda (Satjadibrata, 1946) memuat beberapa ketentuan cara berpakaian masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang dianggap pantas saat itu. Cara berpakaian itulah secara umum dijadikan rujukan pakaian tradisional Masyarakat Jawa Barat.
Jadi tulisan ini akan melangkah menuju rimba sejarah pakaian adat masyarakat Jawa Barat yang bersandar pada hasil-hasil penafsiran bukti bukti sejarah, baik dalam bentuk prasasti, naskah, atau sastra lisan yang menjadi saksi dan tanda keberadaat pakaian tradisional saat itu.Bukti awal yang menunjukkan keberadaan kerajinan seni tenun di Jawa Barat terdapat pada piagam tembaga Kebantenan yang ditulis pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521), berikut kutipannya dalam terjemahan: “Inilah tanda peringatan Rahyang Niskala Wastu Kancana yang turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, demikian pula kepada Susuhunan yang sekarang ada di Pakuan Pajajaran. Titiplah ibukota di Jayagiri dan ibu kota Sunda Sembawa. Di sana ada orang yang memberi kesejahtraan. Jangan diganggu oleh pemungut pajak, baik kapas yang telah ditimbang mau pun padi yang sudah dipikul...” dapat dipastikan bahwa “kapas” yang disebut dalam piagam itu adalah bahan baku untuk membuat pakaian.
Begitu pula dalam sastra lisan, pada cerita rakyat Jawa Barat kita mengenal nama Dayang Sumbi dalam kisah “Tangkuban Perahu”. Kata dayang pada nama tokoh cerita itu merupakan kata sandang yang berasal dari danghyang (bahan pembanding “dang” pada kisah Melayu). Ada pun sumbi secara harfiah berarti “sepotong bambu kecil yang digunakan untuk pembatas lebar tenunan” (Rig, 1862). Jadi Dayang Sumbi adalah perempuan terhormat yang pekerjaannya menenun kain.
Dari asumsi tersebut, berarti sudah sejak dulu masyarakat Jawa Barat mengenal seni tradisi tenun, keculi daerah Baduy, namun hari ini kita sudah tidak menemukannya lagi. Padahal tenunan Majalaya dan sarung cap padi buatan Garut sempat merajai pasaran sampai pertengahan dekade enam puluhan.
Informasi lain tertulis pada buku Sanghyang Siksa Kandang Karesian pada tahun 1518 di dalamnya memngungkap mengenai ragam corak tenunan, di antaranya: kembang muncang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi-pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, cecempaan, paparanakan, surat awi, parigi nyengsoh, gaganjar, lusian besar, kampuh jayanti, hujan riris, laris, boleh alus, dan ragen panganten. Selain itu ada pula corak batik, yaitu; pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata dan kembang tarate.
Dari asumsi tersebut, berarti sudah sejak dulu masyarakat Jawa Barat mengenal seni tradisi tenun, keculi daerah Baduy, namun hari ini kita sudah tidak menemukannya lagi. Padahal tenunan Majalaya dan sarung cap padi buatan Garut sempat merajai pasaran sampai pertengahan dekade enam puluhan.
Informasi lain tertulis pada buku Sanghyang Siksa Kandang Karesian pada tahun 1518 di dalamnya memngungkap mengenai ragam corak tenunan, di antaranya: kembang muncang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi-pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, cecempaan, paparanakan, surat awi, parigi nyengsoh, gaganjar, lusian besar, kampuh jayanti, hujan riris, laris, boleh alus, dan ragen panganten. Selain itu ada pula corak batik, yaitu; pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata dan kembang tarate.
Dari informasi di atas, jelaslah bahwa tradisi menenun dan menulis batik sudah dikenal oleh masyarakat Jawa Barat sejak abad ke 15. Hal ini membantah anggapan yang menyatakan bahwa masyarakat Sunda baru mengenal tradisi menulis batik pada abad ke 17 dari orang Jawa. Namun memang sangat di sayangkan, Masyarakat Sunda tidak mampu mempertahankannya, hingga hilang dan tak termusiumkan.
Dandanan laki-laki pun sering digambarkan dalam cerita pantun Sunda. Pada pantun Panggung karaton (1971) antara lain terdapat ungkapan cawet puril pupurikil (bercawat ketat tak bercelana); disingjangan kotok nonggeng (berkain gaya ayam nungging); totopong bong totopong bang (ikat kepala bong dan bang); lancingan lepas (celana panjang); baju bebek (baju berlengan pendek); totopong batik manyingnyong (ikat kepala gaya batik manyingnyong); dibendo dibelengongkeun (bersetangan kepala rapih dalam bentuk menggelembung) baju kurung; baju mikung (baju anak-anak); baju paret (baju dengan kancing banyak); baju senting (baju laki-laki yang pendek bagian belakannya).
Semua itu kemudian serta merta ditinggalkan karena adanya ketentuan baku dari pemerintah Jepang tentang tata cara berpakaian masyarakat Jawa Barat. Pakaian kaum laki-laki yang dianggap pantas jaman jepang ialah: pertama, bendo, jas (tutup dan bukan berdasi), kain poleng sunda, dan terompah atau selop. Kedua, bendo, jas (tutup atau bukaan berdasi), kain kebat, dan terompah atau selop tanpa kaos kaki; dan ketiga; bendo, jas(tertutup bukan berdasi), pantolan (celana panjang), dan sepatu tanpa kaos.
Semua itu kemudian serta merta ditinggalkan karena adanya ketentuan baku dari pemerintah Jepang tentang tata cara berpakaian masyarakat Jawa Barat. Pakaian kaum laki-laki yang dianggap pantas jaman jepang ialah: pertama, bendo, jas (tutup dan bukan berdasi), kain poleng sunda, dan terompah atau selop. Kedua, bendo, jas (tutup atau bukaan berdasi), kain kebat, dan terompah atau selop tanpa kaos kaki; dan ketiga; bendo, jas(tertutup bukan berdasi), pantolan (celana panjang), dan sepatu tanpa kaos.
Ada pun untuk kaum perempuan ialah kebaya, kain, selop, dan karembong (selendang). Sedang rambutnya biasa dibentuk menjadi sanggul yang nama atau jenisnya bermacam-macam. Jika seorang perempuan tidak mengenakan karembong maka dia akan dianggap wanita murahan. Berawal dari sanalah kita kehilangan identitas Jawa Barat yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar